Di Bawah Lapisan Es (Unter Eis). Memperkaya Apresiasi.
Oleh: Dian Ekawati dan Dien Fakhri Iqbal
Integrity – Respect – Responsibility – Costumer Focus – Teamwork – Transparency – Contribution – Commitment – Innovation – Safety of People and Environment – Foresight –Team Orientation – Decency – Excllence – Dedication – Entrepeneurship- Professionalism – Fairness – Trust – Know-How – Convincing performance – Sound Client Relationship – Constant Learning – Continuous Improvement – Sustaining Value – Sharing Knowledge – Providing Superior Customer Value – Obtaining highest quality standards – Putting the client first – Seeking to excel – Keeping Client’s missin the Priority – Creating excitement to take action – Giving the best – Going beyond – Striving for improvement – Delivering the best – Working as team – Creating trust – Acting responsibly – Respecting Others – Focussing on the Customer – Showing absolute Commitment – Playing Fair –
(Unter Eis – Falk Richter)
Menonton: Ruang Belajar
Sebuah naskah teater memang menarik untuk dikupas dan diperbincangkan. Naskah tidak hanya membawa serta kekayaan bahasa melainkan juga kekayaan budaya. Sebagai sebuah kerja kreatif, membaca, menafsir, dan menerjemahan sebuah naskah ke dalam ‘bahasa’ baru tidak hanya merupakan proses yang menyenangkan, melainkan menegangkan untuk diurai. Dapat dikatakan kerja kreatif ini merupakan kerja kreatif yang sama mandirinya dengan kerja kreatif sang penyusun naskah dan pentas, di mana naskahnya mewujud lewat bahasa pertamanya. Ketika naskah tersebut dipentaskan, kekayaan dalam proses kreasi dan penafsiran akan semakin jelas, sehingga akan semakin banyak yang bisa diketahui. Apa gunanya untuk para penonton?
Sebuah pertunjukkan teater tentunya tidak hanya berhenti pada sekedar menonton. Pengayaan pengalaman dan proses belajar yang terjadi pada penonton sebenarnya merupakan cerminan sejauhmana sikap menonton bergerak dari “belajar menonton” ke “menonton sebagai belajar.” Naskah “Unter Eis” dari Falk Richter adalah salah satu dari sekian banyak naskah teater yang memberi ruang leluasa untuk belajar.
Unter Eis
Naskah “Unter Eis” dari Falk Richter yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Di Bawah Lapisan Es” oleh Heliana Sinaga, berkisah tentang rasa kesepian dan kehilangan seorang tokoh konsultan di bidang ekonomi bernama Paul Niemand. Dia telah melewati puncak kariernya sebagai konsultan, tetapi mau tak mau tetap harus melewati persaingan yang keras dengan konsultan-konsultan yang lebih muda, segar, energis, produktif, efisien, dan berdaya saing tinggi, seperti terlihat dalam dialog mereka tentang “Core Values” di atas. Dunia mereka dijejali dengan nilai-nilai yang berorientasi pada tugas, dinamika, dan pelayanan. Namun sayangnya, karakter-karakter positif khas dunia industri tersebut pada sisi lain bisa dilihat juga sebagai sebuah kebuasan dalam bertahan hidup.
Di akhir masa kariernya, tokoh Paul Niemand mempunyai ruang untuk kembali berpikir dan merasai kemanusiaannya yang hilang. Ternyata kesepian adalah karibnya. Dibandingkan dengan kedua rekan konsultan sesamanya -Karl Sonnenschein dan Aurelius Glasenapp- yang sedang berada di puncak kariernya, Paul Niemand merasa bahwa sekarang dia bukan siapa-siapa. Persaingan selalu butuh kesegaran, dan dia seperti singa tua yang ompong giginya.
Tematis kesepian ini semakin kontras ketika disandingkan dengan percepatan dunia teknologi, ekonomi dan politik di dalam naskah yang ditulis mirip kolase foto-foto yang tidak saling berhubungan, tetapi tetap saling menjelaskan. Naskah ini ditulis fragmentaris, tanpa alur yang jelas, sehingga membuat letupan-letupan kecil yang banal, liar, sekaligus dingin. Monolog panjang ditingkahi dengan dialog-dialog pendek bersahutan membuat pemahaman atas tokoh-tokohnya menjadi lebih kaya interpretasi.
Tampak jelas melalui tokoh-tokohnya Falk Richter mencoba masuk ke dalam dunia penghayatan para konsultan. Dia membedah imajinasi kegilaan-kegilaan semua tokohnya, yang memungkinkan kita bisa memahami dinamika pribadi dan gangguan-gangguan yang punya jejak jelas dalam kultur industri. Kegilaan dan keliaran yang muncul seolah tak bisa dihindari, melainkan seperti kutukan yang diterima oleh masyarakat modern: dingin, tak berakhir bahagia.
Richter memotret pula dimensi dikotomis para pelaku dalam dunia ekonomi. Di satu sisi mereka menjadi pelaku, pada saat bersamaan mereka adalah korban. Naskah ini pun cukup cerdas mengungkap “dunia” atas nama produktifitas dan efisiensi dengan konsekuensinya yang lambat laun menghilangkan kemanusiaan.
Menarik pula untuk dicermati, bahwa selain ketiga tokoh laki-laki dewasa, muncul juga tokoh anak yang dalam beberapa bagian naskah tampak tua dan kesepian. Anak-anak terjebak pada dunia yang sebenarnya serakah, rakus, egois, liar, dan gila. Dinginnya dunia industri sudah terasai sejak dia kanak. Kegilaan yang berusaha dibongkar lewat sosok si anak pun bahkan tidak bisa diurai lagi. Sehingga tidak jelas, apakah dia pernah punya ruang waras pada masa kanak-kanaknya. Ketika kenangan menjadi sekedar serpihan yang harus selalu disusun untuk ditafsir, dia pun tidak memilikinya. Sekedar serpihannyapun tidak. Apakah ini juga yang terjadi pada anak-anak sekarang?
Membacai dan memaknai naskah ini, seperti yang diungkapkan oleh tokoh Sonnenschein: “Selalu ada sebab mengapa semua langkah harus diteruskan dan stagnasi adalah kemunduran, karena diamnya orang lain bukanlah kemutlakan yang tetap berdiri, melainkan yang lain pun harus bergerak dengan cara yang berbeda”, membawa kita pada kesadaran tentang efisiensi dan hasrat yang rasional, namun dingin, keji, tega, dan keras. Bahasa yang terasa masuk akal, dibaliknya menyemburatkan gerak persaingan yang dingin dan tak kenal kompromi.
Penggunaan kata-kata yang didominasi kata benda dan pembendaan, menambah kesan dingin dan berjarak pada tokoh dan relasi antartokohnya. Pun pada pengamatan dan pemaknaan atas suatu peristiwa. Kalimat-kalimat yang singkat padat terjadi dalam setiap dialog cepat bersahutan antara tokoh Sonnenschein dan Glasenapp:
“Sonnenschein : internasionalisasi memainkan peranan yang mutlak/Glasenapp : action/Sonnenschein: fokus pada tujuan/Glasenap : kemampuan untuk bergaul dengan yang lain”
Potongan dialog di atas tampak jelas, namun emosi yang terasa dari kalimat-kalimat tersebut terasa dingin, bernada memerintah, sekaligus abstrak dan rumit, tak menjejak, dan menceracau, tapi sekaligus penuh dengan kuasa yang tak mampu untuk bisa dipahami. Hal ini senada dengan judulnya yang jauh “Di bawah Lapisan Es”: jauh dari kemampuan untuk menyadari lapisan kesadaran atas realitas yang ada saat ini.
Yang juga menonjol dalam naskah ini adalah bagaimana Falk Richter memainkan keteraturan rima dalam dialog-dialog antartokohnya. Dalam naskah aslinya yang berbahasa Jerman jelas terlihat bagaimana rima muncul tidak hanya di akhir kalimat, namun juga muncul di dalam kalimat itu sendiri (“…diese irren, unsicheren Menschen”). Siasat ini memberikan kemudahan bagi pembaca atau penonton untuk menangkap secara lebih kaya nuansa emosi yang dikirim oleh para tokohnya. Adanya efek pengulangan dalam banyak bagian naskah, seperti “dan aku berlari tanpa henti. Aku berlari dan berlari. Aku ingin melawan langit...” atau “Aku berbicara dengan diriku sendiri, aku bergelut dengan diriku sendiri. ...” membuat penutur lebih dapat menekankan emosi bahasa, baik pada pembaca, pendengarnya maupun bagi dirinya, sehingga emosi yang muncul lebih terhayati. Seperti merapal mantra, maka si perapal akan bisa mengalihkan tenaga pikirannya secara total pada rasa makna kata dan bahasa.
Naskah asli teater ini memang sangat musikal. Di Jerman naskah ini pernah dipentaskan dalam bentuk opera. Rima bahasa seperti pada mantra diperkuat dengan musik. Sehingga tak pelak lagi naskah ini menjadi naskah yang dibuat tak hanya untuk memperkaya pikiran, tetapi sekaligus memperkaya rasa. Pilihan vokal atau konsonan dalam Bahasa Jerman yang cenderung berdesis dan tertutup menggugah perasaan curiga, sepi, dan dingin. Konten yang emosional dengan banyaknya kata berkonsonan dan berbunyi eksplosif (konsonanisasi) dalam Bahasa Jerman, membuat rasa emosi bahasa tersebut tepat sampai pada tataran ekspresi emosi yang lebih tegas, bukan pada tataran aksi semata. Sehingga sebenarnya pada bahasa aslinya, pesan emosi sudah cukup tersampaikan hanya lewat bebunyi bahasa. Kesulitannya, konstruksi kata dalam bahasa Indonesia yang lebih banyak mengandung unsur vokalisasi (kombinasi konsonan-vokal-konsonan, atau vokal-konsonan-vokal), membuat rasa emosi bahasa menjadi kurang tegas, sehingga perlu tekanan-tekanan di luar pelafalan. Hal ini menjadi tantangan dalam proses penerjemahannya. Untuk itu, penghayatan aktor saat karya ini dipentaskan menjadi penting, agar rasa emosi pada bahasa awal dapat tersampaikan.
Kritik Falk Richter atas budaya kerja yang mengedepankan isu efisiensi, efektitas, produktifitas, model negosiasi, intrik, konflik, politik “main kayu” di kantor dengan gamblang terlihat. Pemberian label karakter “schizophrenia paranoid” pada tokoh-tokohnya, muncul juga dalam masyarakat kita. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah kegilaan ini diturunkan, terbentuk secara genetik, atau dibentuk oleh lingkungan? Ketika tema percepatan meretas kehidupan sejak dini lewat isu-isu kelas-kelas akselerasi, kompetensi, ujian akhir yang berfokus pada kemampuan berpikir, hal ini bisa dilihat sebagai upaya memaksimalkan kemampuan anak untuk bekerja dalam sebuah sistem industrial yang lebih besar.
Falk Richter membuat dan mementaskan naskah “Unter Eis” sebagai bagian dari tetralogi pementasan “Das System”, yaitu Electronic City, Unter Eis, Amok, dan Hotel Palestine. Kesemuanya memotret kisah orang-orang yang “terjebak” dalam modernitas pada masyarakat modern, lengkap dengan segala konflik inter- dan intrapersonalnya. Kelompok mainteater dengan sutradara Wawan Sofwan telah mementaskan naskah Electronic City (setelah sebelumnya naskah “God is a DJ”, juga dari pengarang yang sama). Pada tanggal 15 Mei 2009 dengan sutradara yang sama, kelompok ini akan mengusung “Unter Eis” atau “Di Bawah Lapisan Es” untuk pertama kalinya ke hadapan penonton Bandung.
Dengan komposisi naskah yang kaya akan ruang pemaknaan, kritik yang lugas dan tajam terhadap dunia ekonomi –khususnya dunia para konsultan dan akuntan-, bahasa yang ritmis, ironis dan satiris, tapi sekaligus juga hening dan kontemplatif, pembaca –dan kelak penonton- dapat dengan bebas berjalan-jalan sekaligus belajar. Berjalan dan mempelajari dunia di bawah dinginnya lapisan es.
Bandung, 2 Mei 2009