Selasa, 19 Mei 2009

pentas di rumentang

19 mei 2009, pementasan kedua DI BAWAH LAPISAN ES di GK Rumentang Siang. Pementasan berlangsung selama 2 kali (pukul 14.00 dan 19.30 wib). Pentas malam hari diwarnai kepanikan beberapa menit yang cukup membuat wara-wiri dan tegang semua kru. Di tengah pementasan, secara tiba-tiba lampu padam, listrik mati. Semua menuju saklar. Ternyata daya listrik gedung tak cukup canggih untuk menahan daya lampu panggung. Namun pertunjukan tetap berjalan. Dialog tetap dilafalkan meskipun dalam keadaan panggung gelap, dan untungnya penonton tak gaduh dengan situasi tersebut. Tak berapa lama, listrik kembali menyala dengan normal hingga akhir pementasan.

Semoga peristiwa mengenaskan tersebut tak terjadi lagi di pentas berikutnya. Amin.

Minggu, 17 Mei 2009

pentas perdana

Pentas perdana DI BAWAH LAPISAN ES di Amphitheater Selasar Sunaryo Art Space harus berebut dengan acara SBY dalam menyedot perhatian masyarakat Bandung. Meskipun jarak tempuh cukup jauh dan harus melalui banyak perjuangan (macet dan pengalihan jalur karena ada SBY), namun publik Bandung cukup antusias untuk tetap bertekad menyaksikan pentas perdana DI BAWAH LAPISAN ES. Pun walau mereka harus terjebak hujan terlebih dahulu.

Pentas perdana di Amphiheater Selasar Sunaryo sekaligus pula turut memperingati hari ulang tahun Bapak Sunaryo (selaku pemilik galeri), dan peringatan 15 tahun kiprah Wawan Sofwan dalam bermonolog.

Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelenggaraan pementasan perdana ini. Semoga pentas kedua akan kembali dan semakin lancar. Amin.












































Senin, 04 Mei 2009

pengantar pengulas

Di Bawah Lapisan Es (Unter Eis). Memperkaya Apresiasi.
Oleh: Dian Ekawati dan Dien Fakhri Iqbal

Integrity – Respect – Responsibility – Costumer Focus – Teamwork – Transparency – Contribution – Commitment – Innovation – Safety of People and Environment – Foresight –Team Orientation – Decency – Excllence – Dedication – Entrepeneurship- Professionalism – Fairness – Trust – Know-How – Convincing performance – Sound Client Relationship – Constant Learning – Continuous Improvement – Sustaining Value – Sharing Knowledge – Providing Superior Customer Value – Obtaining highest quality standards – Putting the client first – Seeking to excel – Keeping Client’s missin the Priority – Creating excitement to take action – Giving the best – Going beyond – Striving for improvement – Delivering the best – Working as team – Creating trust – Acting responsibly – Respecting Others – Focussing on the Customer – Showing absolute Commitment – Playing Fair –
(Unter Eis – Falk Richter)

Menonton: Ruang Belajar

Sebuah naskah teater memang menarik untuk dikupas dan diperbincangkan. Naskah tidak hanya membawa serta kekayaan bahasa melainkan juga kekayaan budaya. Sebagai sebuah kerja kreatif, membaca, menafsir, dan menerjemahan sebuah naskah ke dalam ‘bahasa’ baru tidak hanya merupakan proses yang menyenangkan, melainkan menegangkan untuk diurai. Dapat dikatakan kerja kreatif ini merupakan kerja kreatif yang sama mandirinya dengan kerja kreatif sang penyusun naskah dan pentas, di mana naskahnya mewujud lewat bahasa pertamanya. Ketika naskah tersebut dipentaskan, kekayaan dalam proses kreasi dan penafsiran akan semakin jelas, sehingga akan semakin banyak yang bisa diketahui. Apa gunanya untuk para penonton?

Sebuah pertunjukkan teater tentunya tidak hanya berhenti pada sekedar menonton. Pengayaan pengalaman dan proses belajar yang terjadi pada penonton sebenarnya merupakan cerminan sejauhmana sikap menonton bergerak dari “belajar menonton” ke “menonton sebagai belajar.” Naskah “Unter Eis” dari Falk Richter adalah salah satu dari sekian banyak naskah teater yang memberi ruang leluasa untuk belajar.

Unter Eis
Naskah “Unter Eis” dari Falk Richter yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Di Bawah Lapisan Es” oleh Heliana Sinaga, berkisah tentang rasa kesepian dan kehilangan seorang tokoh konsultan di bidang ekonomi bernama Paul Niemand. Dia telah melewati puncak kariernya sebagai konsultan, tetapi mau tak mau tetap harus melewati persaingan yang keras dengan konsultan-konsultan yang lebih muda, segar, energis, produktif, efisien, dan berdaya saing tinggi, seperti terlihat dalam dialog mereka tentang “Core Values” di atas. Dunia mereka dijejali dengan nilai-nilai yang berorientasi pada tugas, dinamika, dan pelayanan. Namun sayangnya, karakter-karakter positif khas dunia industri tersebut pada sisi lain bisa dilihat juga sebagai sebuah kebuasan dalam bertahan hidup.

Di akhir masa kariernya, tokoh Paul Niemand mempunyai ruang untuk kembali berpikir dan merasai kemanusiaannya yang hilang. Ternyata kesepian adalah karibnya. Dibandingkan dengan kedua rekan konsultan sesamanya -Karl Sonnenschein dan Aurelius Glasenapp- yang sedang berada di puncak kariernya, Paul Niemand merasa bahwa sekarang dia bukan siapa-siapa. Persaingan selalu butuh kesegaran, dan dia seperti singa tua yang ompong giginya.

Tematis kesepian ini semakin kontras ketika disandingkan dengan percepatan dunia teknologi, ekonomi dan politik di dalam naskah yang ditulis mirip kolase foto-foto yang tidak saling berhubungan, tetapi tetap saling menjelaskan. Naskah ini ditulis fragmentaris, tanpa alur yang jelas, sehingga membuat letupan-letupan kecil yang banal, liar, sekaligus dingin. Monolog panjang ditingkahi dengan dialog-dialog pendek bersahutan membuat pemahaman atas tokoh-tokohnya menjadi lebih kaya interpretasi.

Tampak jelas melalui tokoh-tokohnya Falk Richter mencoba masuk ke dalam dunia penghayatan para konsultan. Dia membedah imajinasi kegilaan-kegilaan semua tokohnya, yang memungkinkan kita bisa memahami dinamika pribadi dan gangguan-gangguan yang punya jejak jelas dalam kultur industri. Kegilaan dan keliaran yang muncul seolah tak bisa dihindari, melainkan seperti kutukan yang diterima oleh masyarakat modern: dingin, tak berakhir bahagia.

Richter memotret pula dimensi dikotomis para pelaku dalam dunia ekonomi. Di satu sisi mereka menjadi pelaku, pada saat bersamaan mereka adalah korban. Naskah ini pun cukup cerdas mengungkap “dunia” atas nama produktifitas dan efisiensi dengan konsekuensinya yang lambat laun menghilangkan kemanusiaan.

Menarik pula untuk dicermati, bahwa selain ketiga tokoh laki-laki dewasa, muncul juga tokoh anak yang dalam beberapa bagian naskah tampak tua dan kesepian. Anak-anak terjebak pada dunia yang sebenarnya serakah, rakus, egois, liar, dan gila. Dinginnya dunia industri sudah terasai sejak dia kanak. Kegilaan yang berusaha dibongkar lewat sosok si anak pun bahkan tidak bisa diurai lagi. Sehingga tidak jelas, apakah dia pernah punya ruang waras pada masa kanak-kanaknya. Ketika kenangan menjadi sekedar serpihan yang harus selalu disusun untuk ditafsir, dia pun tidak memilikinya. Sekedar serpihannyapun tidak. Apakah ini juga yang terjadi pada anak-anak sekarang?

Membacai dan memaknai naskah ini, seperti yang diungkapkan oleh tokoh Sonnenschein: “Selalu ada sebab mengapa semua langkah harus diteruskan dan stagnasi adalah kemunduran, karena diamnya orang lain bukanlah kemutlakan yang tetap berdiri, melainkan yang lain pun harus bergerak dengan cara yang berbeda”, membawa kita pada kesadaran tentang efisiensi dan hasrat yang rasional, namun dingin, keji, tega, dan keras. Bahasa yang terasa masuk akal, dibaliknya menyemburatkan gerak persaingan yang dingin dan tak kenal kompromi.

Penggunaan kata-kata yang didominasi kata benda dan pembendaan, menambah kesan dingin dan berjarak pada tokoh dan relasi antartokohnya. Pun pada pengamatan dan pemaknaan atas suatu peristiwa. Kalimat-kalimat yang singkat padat terjadi dalam setiap dialog cepat bersahutan antara tokoh Sonnenschein dan Glasenapp:
“Sonnenschein : internasionalisasi memainkan peranan yang mutlak/Glasenapp : action/Sonnenschein: fokus pada tujuan/Glasenap : kemampuan untuk bergaul dengan yang lain”

Potongan dialog di atas tampak jelas, namun emosi yang terasa dari kalimat-kalimat tersebut terasa dingin, bernada memerintah, sekaligus abstrak dan rumit, tak menjejak, dan menceracau, tapi sekaligus penuh dengan kuasa yang tak mampu untuk bisa dipahami. Hal ini senada dengan judulnya yang jauh “Di bawah Lapisan Es”: jauh dari kemampuan untuk menyadari lapisan kesadaran atas realitas yang ada saat ini.

Yang juga menonjol dalam naskah ini adalah bagaimana Falk Richter memainkan keteraturan rima dalam dialog-dialog antartokohnya. Dalam naskah aslinya yang berbahasa Jerman jelas terlihat bagaimana rima muncul tidak hanya di akhir kalimat, namun juga muncul di dalam kalimat itu sendiri (“…diese irren, unsicheren Menschen”). Siasat ini memberikan kemudahan bagi pembaca atau penonton untuk menangkap secara lebih kaya nuansa emosi yang dikirim oleh para tokohnya. Adanya efek pengulangan dalam banyak bagian naskah, seperti “dan aku berlari tanpa henti. Aku berlari dan berlari. Aku ingin melawan langit...” atau “Aku berbicara dengan diriku sendiri, aku bergelut dengan diriku sendiri. ...” membuat penutur lebih dapat menekankan emosi bahasa, baik pada pembaca, pendengarnya maupun bagi dirinya, sehingga emosi yang muncul lebih terhayati. Seperti merapal mantra, maka si perapal akan bisa mengalihkan tenaga pikirannya secara total pada rasa makna kata dan bahasa.
Naskah asli teater ini memang sangat musikal. Di Jerman naskah ini pernah dipentaskan dalam bentuk opera. Rima bahasa seperti pada mantra diperkuat dengan musik. Sehingga tak pelak lagi naskah ini menjadi naskah yang dibuat tak hanya untuk memperkaya pikiran, tetapi sekaligus memperkaya rasa. Pilihan vokal atau konsonan dalam Bahasa Jerman yang cenderung berdesis dan tertutup menggugah perasaan curiga, sepi, dan dingin. Konten yang emosional dengan banyaknya kata berkonsonan dan berbunyi eksplosif (konsonanisasi) dalam Bahasa Jerman, membuat rasa emosi bahasa tersebut tepat sampai pada tataran ekspresi emosi yang lebih tegas, bukan pada tataran aksi semata. Sehingga sebenarnya pada bahasa aslinya, pesan emosi sudah cukup tersampaikan hanya lewat bebunyi bahasa. Kesulitannya, konstruksi kata dalam bahasa Indonesia yang lebih banyak mengandung unsur vokalisasi (kombinasi konsonan-vokal-konsonan, atau vokal-konsonan-vokal), membuat rasa emosi bahasa menjadi kurang tegas, sehingga perlu tekanan-tekanan di luar pelafalan. Hal ini menjadi tantangan dalam proses penerjemahannya. Untuk itu, penghayatan aktor saat karya ini dipentaskan menjadi penting, agar rasa emosi pada bahasa awal dapat tersampaikan.
Kritik Falk Richter atas budaya kerja yang mengedepankan isu efisiensi, efektitas, produktifitas, model negosiasi, intrik, konflik, politik “main kayu” di kantor dengan gamblang terlihat. Pemberian label karakter “schizophrenia paranoid” pada tokoh-tokohnya, muncul juga dalam masyarakat kita. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah kegilaan ini diturunkan, terbentuk secara genetik, atau dibentuk oleh lingkungan? Ketika tema percepatan meretas kehidupan sejak dini lewat isu-isu kelas-kelas akselerasi, kompetensi, ujian akhir yang berfokus pada kemampuan berpikir, hal ini bisa dilihat sebagai upaya memaksimalkan kemampuan anak untuk bekerja dalam sebuah sistem industrial yang lebih besar.

Falk Richter membuat dan mementaskan naskah “Unter Eis” sebagai bagian dari tetralogi pementasan “Das System”, yaitu Electronic City, Unter Eis, Amok, dan Hotel Palestine. Kesemuanya memotret kisah orang-orang yang “terjebak” dalam modernitas pada masyarakat modern, lengkap dengan segala konflik inter- dan intrapersonalnya. Kelompok mainteater dengan sutradara Wawan Sofwan telah mementaskan naskah Electronic City (setelah sebelumnya naskah “God is a DJ”, juga dari pengarang yang sama). Pada tanggal 15 Mei 2009 dengan sutradara yang sama, kelompok ini akan mengusung “Unter Eis” atau “Di Bawah Lapisan Es” untuk pertama kalinya ke hadapan penonton Bandung.

Dengan komposisi naskah yang kaya akan ruang pemaknaan, kritik yang lugas dan tajam terhadap dunia ekonomi –khususnya dunia para konsultan dan akuntan-, bahasa yang ritmis, ironis dan satiris, tapi sekaligus juga hening dan kontemplatif, pembaca –dan kelak penonton- dapat dengan bebas berjalan-jalan sekaligus belajar. Berjalan dan mempelajari dunia di bawah dinginnya lapisan es.

Bandung, 2 Mei 2009

pengantar sutradara

Mainer yang budiman,
Kami ingin membagi kebahagiaan.

Kebahagiaan Pertama
Pekerjaan penting yang telah kami lakukan tahun ini adalah pembenahan organisasi . Setiap ditanya tentang struktur organisasi , kami selalu angkat bahu. Siapa ketuanya? Tidak ada. Yang ada hanyalah penanggung jawab mainteater. Selama ini yang disebut mainteater adalah tim produksi pementasan. Organisasi berjalan sesuai dengan kebutuhan sebuah produksi pementasan.

Berangkat dari kondisi inilah pada akhir Januari lalu beberapa orang yang selalu ikut dalam berbagai produksi mainteater berkumpul dan berdiskusi, mengadakan “rapat kerja”. Sengaja kami menyewa sebuah tempat, dengan harapan agar kami bisa berkonsentrasi membicarakan masa depan mainteater. Akhirnya terbentuklah organisasi mainteater dengan seperangkat pengurus dan program-program yang akan dilakukan dua tahun kedepan. Dua tahun pertama ini kami anggap sebagai masa konsolidasi. Adapun program yang akan kami selenggarakan adalah : Mengaktifkan kembali teater untuk anak-anak dan remaja, pementasan rutin, Mainer, program Magang (bidang artistik, produksi dan pemeranan) dan Emtiarts organizer.Harapan kami, dengan terbentuknya organisasi ini mainteater bisa hadir kehadapan anda secara rutin dan terprogram.


Kebahagiaan Kedua

Mulai Februari lalu kami menyelenggarakan sebuah program magang untuk pemeranan, artistik dan produksi. Lebih dari 130 orang mendaftar dan mengikuti wawancara. Tapi kami hanya menerima 30 orang saja. Selama tiga bulan peserta magang diberi bekal pengetahuan tentang dunia teater. Mereka langsung dilibatkan dalam sebuah produksi pementasan.

30 April kemarin program magang ini selesai dan diakhiri oleh sebuah pementasan teater “Kereta Api Bumel “(teater untuk anak-anak) di GIM. Ratusan siswa perwakilan dari beberapa SD menonton pementasan ini. Mereka bersemangat sekali ketika beberapa adegan melibatkan mereka untuk ikut serta merakit kereta diatas panggung. Setelah pementasan berakhir ,tim produksi dari pementasan ini langsung bergerak menawarkan ‘dagangannya’ kepada beberapa guru.Dan syukur Alhamdulillah beberapa SD ingin mengadakan kerjasama untuk menyelenggarakan pementasan ini di kemudian hari.


Kebahagiaan Ketiga

Setelah selesai pementasan Electronic City (EC), para penonton bertanya “Apakah mainteater akan mementaskan naskah lanjutan dari EC”?

Mainer yang budiman, seperti kita ketahui bahwa EC merupakan naskah bagian pertama dari tetralogi Das System. Naskah selanjutnya adalah UNTER EIS, HOTEL PALESTINIEN dan AMOK. Jadi yang dimaksudkan oleh mainer tadi adalah apakah mainteater mau mementaskan naskah UNTER EIS?
Seperti biasa kami jawab dengan senyum. Kami belum berani merencanakannya. Tapi secara diam-diam kami membaca naskah itu, dalam bahasa Jerman.

Unter Eis atau Di bawah Lapisan Es (DLE) adalah sebuah naskah yang berbicara tentang seputar dunia Konsultan perusahaan yang akan membangun dunia baru, dunia yang mereka ciptakan untuk para konsumen. Mereka melakukan apapun untuk memasukkan konsumen ke dalam dunianya. Mereka membangun sebuah dunia lain yang baru yang mereka ciptakan sendiri, yakni produk ekonomi yang mengarah pada kapitalisme. Mereka memikirkan cara bagaimana menarik konsumen untuk masuk ke dalam sistem kapitalisme. Mereka sanggup menanggung resiko, dan dunia akan dihancurkan untuk diganti dengan dunia mereka. Dunia kapitalisme akan menjadi dunia baru.

Tema ini terasa sangat kontekstual untuk kondisi saat ini. Terpuruknya sistem perekonomian dunia, kejadian ambruknya Lehman Bros, bangkrutnya AIG di Amerika Serikat dll seperti ada resonansi yang kuat dengan tema naskah di atas.

Seolah mendapat kekuatan kontekstualitas naskah ini, kami meminta pada Anna untuk menterjemahkan naskah ini langsung dari naskah aslinya yang berbahasa Jerman. Dan Anna pun langsung bergerak. Dalam tempo kurang dari satu bulan Anna berhasil menterjemahkannya. Dan kami pun mulai membacanya.

Kami mencoba mengajukan proposal pada Goethe Institut untuk mensponsori pementasan ini. Oleh karena ada kebijakan baru tentang sistem kerjasama, Goethe Institut menangguhkan proposal kami. Bersamaan dengan itu Yayasan Kelola mengadakan program Hibah untuk Karya Inovatif. Lantas kami pun merencanakan strategi bagaimana caranya agar kami bisa mendapat hibah tersebut. Bagaimana caranya agar pementasan DLE bisa masuk karya Inovatif? Seperti naskah EC, naskah DLE pun adalah naskah yang memungkinkan untuk melibatkan unsur film dan Multi media. Langsung kami menghubungi sahabat setia mainteater yaitu KINERUKU untuk sama-sama menggarap pementasan ini.Tanpa harus menunggu lama, KINERUKU menyambut hangat pinangan kami. Kami berdua mulai memikirkan dan merancang bentuk kolaborasi teater, film dan video arts. Dan proposal pun kami kirim ke Yayasan Kelola.

Sambil menunggu jawaban Kelola, kami mulai membedah naskah. Tak semudah yang kami bayangkan. Naskah ini bagai batu terjal. Tidak lazim. Didominasi oleh monolog-monolog panjang. Kalaupun ada dialog tapi sangat kering, tak intim. Temanya berbicara tentang dunia yang tak kami fahami. Gelap!apa ini maksudnya?terutama dialog-dialog Karl.

Kami membutuhkan bantuan seseorang yang faham dengan dunia ini. Atas rekomendasi Dian Ekawati, dosen Sastra Jerman Unpad, kami bertemu dengan Syaiful Rahman Soenaria (Ketua Jurusan Akutansi UNPAD). Melalui diskusi dengan Syaiful inilah batu terjal itu mulai melunak. Beliau menjelaskan keterkaitan naskah ini dengan dunia yang beliau geluti sebagai Akuntan dan juga Konsultan. Lalu menerangkan apa itu pilar-pilar Kapitalisme (teknoekonomi,politie, kultur) bagaimana hirarki di sebuah perusahaan konsultan, apa itu Boston Consulting Group (BCG),dll. Secara berseloroh beliau bilang bahwa tokoh Karl Schonenschein adalah gambaran masa depan mahasiswanya. Tak cukup hanya dengan Syaiful, kami pun berdiskusi dengan Pak Iqbal (dosen Psikologi UNPAD) untuk membedah unsur psikologis dari masing-masing peran, terutama Paul Niemand. Lalu Dian menyoroti dari sisi kecenderungan naskah Falk Richter. Diskusi dengan ketiga orang ini sungguh sangat bermanfaat bagi kami dalam memahami isi naskah DLE. Dan mereka pun menyumbangkan tulisan untuk pengantar pementasan ini, pro bono.Terima kasih, Vielen Dank.
Awal April kami mendapat kabar bahwa kami memperoleh Hibah Kelola. Yayasan Kelola dan Hivos akan mendanai pementasan DLE. Alhamdulillah. Padahal sebelumnya kami sudah bertekad dengan atau tanpa Kelola pun , ada atau tidak ada sponsorpun, kami akan tetap mementaskan naskah ini. Kadung sudah jatuh cinta.

Tak lama setelah itu, pihak Selasar Sunaryo menghubungi kami. Mereka memberitahukan bahwa proposal kerja sama penyelenggaraan pementasan kami disetujui. Syukur Alhamdulillah. Ini sebuah kehormatan untuk mainteater. Tempat ini sangat prestisius. Tidak semua group bisa pentas disini. Permohonan Selasar agar DLE bisa dipentaskan dahulu di Amphiteater Selasar, kami sepakati. DLE akan dipentaskan dulu di Selasar untuk publik khusus tanggal 15 Mei. Untuk umum dan mahasiswa akan dipentaskan di Rumentang Siang tanggal 19-20 Mei.
Mainer yang tercinta,

Itulah kebahagiaan yang ingin kami sampaikan. Begitu banyak kemudahan yang kami terima. Kami yakin itu semua karena dukungan yang tulus dari para mainer, pecinta mainteater, dan berbagai pihak yang peduli pada kami.

Terima kasih yang tak terhingga untuk Yayasan Kelola, Hivos, Selasar Sunaryo, Rumentang Siang, Tribun Jabar, Kompas Bandung, Syaiful Rahman Soenaria, Dian Ekawati, Iqbal, Dr. Safrina Norman, Godi Suwarna, Goethe Institut Bandung, dll.

Mainer adalah kata sapaan yang akan kami sampaikan untuk Anda, para pecinta, penggemar, penikmat, pemberi sponsor pertunjukan mainteater.

Terima kasih mainer.

Sabtu, 02 Mei 2009

diskusi sisi psikologi

Sabtu, 15 APril 2009, latihan dimulai dengan diskusi dari masalah psikologi. Masalah psikologi patut dibahas dalam proses karena akan mengulas mengenai tipikal bussinessman. Dalam diskusi kali ini, tak hanya psikologi saja yang disorot, namun dikorelasikan juga dengan sastra-bahasa. Sebab penggunaan kata dalam teks (dialog) dapat menjadi suatu penanda dari kecenderungan kejiwaan manusia.

Dien Fakhri Iqbal (dosen psikologi UNPAD) menjadi pengulas masalah psikologi. Tentu saja diskusi tak hanya dilakukan di antara sutradara dan pengulas saja, namun bersama-sama pemain dan penerjemah, serta pimpinan produksi dan stage manager.

Diskusi ini tak hanya dilakukan satu kali saja, namun pada pertemuan selanjutnya akan tetap dilakukan disksui, baik secara parsial, maupun ketika latihan berjalan, pengulas terkadang akan memotong proses latihan (blocking) jika terdapat hal yang perlu dibahas/dijelaskan kepada aktor.





Selasa, 21 April 2009

proses dan proses

Teks Di Bawah Lapisan Es berisi kumpulan dialog-dialog dan monolog. Dialog hanya ditemui dalam beberepa scene. Sedangkan monolog mendominasi naskah Di Bawah Lapisan Es.

Rasa takut adalah motif dan penggerak utama. Di dalam tokoh-tokoh Di Bawah Lapisan Es, pribadi-pribadi tokoh adalah seorang yang sangat depresif, manager yang sangat fleksibel dengan jati dirinya, yang bertindak dan hidup di depan lensa kamera imaginernya.
Mekanisme dari rasa takut, menggambarkan sesuatu dalam ketakutan dan fantasi yang bergerak. Memang sangat berlebihan tetapi sangat realistis.

Situasi-situasi dan ruang-ruang seperti bandara-bandara, menara-menara perkantoran dan deretan hotel-hotel, ketakutan masa kecil menembus seperti sesuatu ´yang tertinggal´ menjadi sesuatu yang tidak dimiliki dan tidak dilihat. DUNIA MELEBUR UNTUK PERSEORANGAN!!!
Momen-momen tersebut menghadirkan keterasingan bagi tokoh-tokoh, pengalaman luar biasa dari rasa dingin dan kosong, dari kemustahilan metafisik.

Dalam dialog-dialog, konflik sering mengutarakan ketidakjelasan dan kengerian diluar batas-batas kebenaran yang realistis. Monolog-monolog dalam naskah yang terjadi bercerita tentang hilangnya empati yang terjadi di dalam dunia modernisme.

Di Bawah Lapisan Es adalah sebuah naskah yang bercerita tentang titik menggelikan dalam pandangan gelap seseorang dan dunia yang tak berperikemanusiaan. Sistem kapitalis telah terbentuk. Menciptakan dunia yang baru adalah mungkin.

pemeran

Berlaku sebagai aktor dalam pementasan Di Bawah Lapisan Es:


1. Sahlan Bahuy sebagai Paul Niemand
2. Puspita Hadiati sebagai Aurelius Glasenapp
3. Deden Syarip sebagai Karl Sonnenschein
4. Valent sebagai Bocah









Tokoh Paul Niemand berbicara tentang eksistensi dirinya. Paul Niemand merasa tidak ada seorangpun yang memperhatikan dirinya, tak ada seorangpun yang mengajaknya berbicara. Dunia seolah-olah membeku. Setiap monolog-monolog yang dibawakannya menyimbolkan keterasingan. Dia merasa hanya dia sendirilah yang berada di dunia ini. Kesepian yang membut jiwanya beku.

Karl Sonnenschein adalah seorang manager muda yang sangat agresif dalam memperjuangkan kebenaran kapitalis, seorang konsultan yang juga berbicara banyak hal tentang politik dan peranan media masa. Menciptakan dunia yang lain(dunia kapital) adalah mungkin.

Aurelius Glasenapp yang mengalami sindrom imajinasi, mentransformasikan benda menjadi sesuatu yang hidup. Yang bila didalami juga merupakan isme materialistis (materialis dan realistis).
Dia membayangkan benda-benda bergerak dengan sendirinya. Dia seolah-olah melihat televisi dan mobil sedang berbelanja ke Shoping Mal untuk membeli keperluan mereka: Boneka, Poster, vcd dll. Mobil dan televisi juga membeli cinta, perdamaian dunia sinar matahari dan persaudaraan.
Aurelius Glasenapp melihat Yesus berjalan-jalan dengan mobil dan televisi. Bersama-sama mereka menerangi kerajaan gelap.
Manusia sudah tidak memiliki kebahagiaan. Hanya bendalah yang berbahagia.

Tokoh Bocah datang dengan membacakan inflasi saham dan perusahaan-perusahaan besar dunia yang telah dan nyaris hancur. Si Tokoh Bocah juga merasa sedih dan asing akan kehidupanya. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Dia kesepian di dunia ini.